Selasa, 26 Maret 2019

FIQH JINAYAH


1.       PENGANTAR KULIAH
2.       PENGERTIAN JINAYAH/JARIMAH SECARA ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGI
3.       UNSUR-UNSUR JARIMAH
4.       SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM (KITAB ABDUL QADIR AUDAH, jilid 1 HAL. 164)
5.       ASAS-ASAS HUKUM PIDANA ISLAM(KITAB ABDUL QADIR AUDAH, HAL. 209)
6.       KERJASAMA BERBUAT JARIMAH
7.       PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH
8.       PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
9.       TEORI PEMBUKTIAN/ALAT-ALAT BUKTI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
10.   HUKUMAN:
a.       PENGERTIAN, TUJUAN DAN SYARAT-SYARAT HUKUMAN
b.      JENIS HUKUMAN
c.       GABUNGAN HUKUMAN
d.      PELAKSANAAN HUKUMAN
e.      GUGURNYA HUKUMAN
REFERENSI:
1.       MAUSU’AH WAHBAH ZUHAILI, JILID 6
2.       MUHAMMAD ABU ZUHRAH, AL-JARIMAH WAL UQUBAH FI AL-FIQH AL-ISLAMI
3.       AL-JINAYAH ‘ALA AL-ATHRAF HAL.
4.        

1.     PENGERTIAN JINAYAH/JARIMAH SECARA ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGI
Jinayahsecara bahasa artinya dosa dan segala perbuatan yang dapat menyebabkan pelakunya mendapat hukuman. Ia berasal dari kata جنى يجني جناية artinya memetik sebagaimana Allah Swt berfirman dalam qs. Maryam: 25
Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. (QS. 19:25)

Sedangkan secara terminology jinayah adalah setiap perbuatan yang menindas, menganiaya dan menzhalimi badan, harta, kehormatan, akal, agama dan lain-lain. Ada sebagian ulama mengkhususkan jinayah utk perbuatan penindasan terhadap jiwa, badan atau anggotanya.
Jarimah secara bahasa artinya penindasan/permusuhan dan dosa. Asal katanya جرم يجرم Dalam QS. Al-A’raf: 40 Allah berfirman:
Lafazh mujrimin artinya berdosa, arti ayat di atas: “demikianlah Kami membalas orang-orang yang berdosa”
Sedangkan secara terminology jarimah itu artinya setiap perbuatan dosa yang bersifat syar’i yang diancam dengan hukuman hudud atau ta’zir.
Yang dimaksud dosa bersifat syar’I adalah berupa meninggalkan perintah agama seperti meninggalkan shalat atau melakukan laranganNya seperti meminum minuman keras.
Hududitu jamak dari lafazh had artinya larangan. Had disebut juga uqubah karena had atau uqubah menyebabkan seseorang menghidari diri dari mengerjakan pidana. Sedangkan menurut istilah had itu adalah setiap hukuman yang kadarnya sudah ditetapkan secara qath’I dalam Al-Qur’an dan al-Hadits baik berupa hak Allah maupun hak manusia.
Ta’zir artinya hukuman yang tidak ditetapkan ukurannya secara pasti sehingga hakim atau ulama melakukan ijtihad untuk memberikan hukuman kepada pelaku pidana seperti menuduh orang lain mencuri.
 Dengan demikian, perbedaan antara jinayah dengan jarimah adalah jika jinayah dikhususkan untuk badan dan anggotanya maka jinayah lebih khusus daripada jarimah namun jika yang dimaksudkan jinayah setiap perbuatan yang mengenai badan, harta dan lain2 maka jinayah sinonim jarimah.
Terdapat 10 perbedaan antara hudud dengan ta’zir (lihat kitab mausu’ah zuhaili, hal. 720 jilid 5)
Imam Al-Qarafi dari mazhab Malikiyah menyebutkan 10 perbedaan antara hudud dengan ta’zir akan tetapi dalam makalah ini akan disebut 5 saja yaitu sebagai berikut:
1.     Dari segi kadarnya/ukurannya, Hudud itu sudah ditetapkan kadar dan ukurannya dalam Al-Qur’an dan al-Hadits sedangkan ta’zir ukurannya diserahkan kepada hasil ijtihad ulama.
2.     Dari segi pelaksanaan hukuman,hudud itu ada yang boleh dibatalkan hukumannya dan ada juga yang tidak boleh dimaafkan. Hudud yang berkaitan dengan hak-hak Allah tidak boleh dimaafkan sedangkan hudud yang berkaitan dengan hak-hak manusia maka boleh dimaafkan dan dibatalkan hukumannya jika korbannya memaafkan. Contoh hudud yang berkaitan dengan hak-hak Allah adalah murtad dan contoh hudud yag berkaitan dengan hak-hak manusia adalah pencurian dan qazf.
sedangkan qishash boleh dibatalkan pelaksanaan hukuman jika dimaafkan oleh keluarga korban.
Sedangkan ta’zir juga terbagi dua yaitu yang berkaitan dengan hak-hak Allah dan yang berkaitan dengan hak-hak manusia. Jika jarimah itu berkaitan dengan hak-hak Allah maka hakim dapat memaafkan jika hakim melihat pelaku jarimah sudah sadar atau sudah memperoleh efek jera dari perbuatannya. Sedangkan jika jarimah itu berkaitan dengan hak-hak manusia maka hakim tidak boleh memaafkannya kecuali pihak korban yang memaafkannya.
3.     Dari segi kesesuaiannya dengan kaidah umum/hokum asal. Ta’zir itu sesuai dengan kaidah umum/hokum asal artinya hukumannya disesuaikan dengan tingkat jarimah/tidak criminal yang dilakukan. Sedangkan hudud dan qishash bersifat baku dan tetap. Orang yang mencuri 1 dinar sama hukumannya dengan yang mencuri 100 dinar.
4.     Adanya Keterikatan jarimah dengan maksiat atau tidak adanya keterikatan. Ta’zir itu sebuah hukuman yang bersifat memberi pelajaran terhadap suatu tindakan yang berpeluang menimbulkan kemudharatan seperti memukul anak untuk memberi pelajaran demi kemaslahatan dirinya dan kebanyakan tidak didahului oleh sebuah tindakan maksiat/dosa sedangkan hudud itu dikenakan karena didahului oleh sebuah pelanggaran/maksiat.
5.     Dari segi gugurnya dosa jarimah dengan bertaubat. Ta’zir itu dapat menggugurkan dosa pelaku jika ia bertaubat sedangkan hudud jika sudah terbukti dan wajib dilaksanakan maka tidak akan gugur dengan taubat semata-mata tanpa membayar hak-hak korbannya. Ini pendapat jumhur para ulama selain mazhab Hambali. Hanya jarimah perampokan yang dapat gugur dengan bertaubat berdasarkan QS. Al-Maidah: 34
2. UNSUR-UNSUR JARIMAH
Jarimah terbagi dua yaitu jarimah yang hukumannya sudah pasti kadar dan ukurannya yang disebut qishash dan hudud serta jarimah yang kadar dan ukuran hukumannya belum pasti yang disebut ta’zir.
Adapun unsur-unsur jarimah yang sudah pasti kadar dan ukuran hukumannya terdapat 7 macam yaitu:
1.        Pembunuhan. (Mausu’ah wahbah zuhaili jilid 6 hal, 206)
a.     Arti pembunuhan: suatu perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
b.     Dalil-dalil tentang pembunuhan:
QS. Al-Baqarah: 178
An-Nisa’: 92-93

QS. Al-Isra’: 33
              Al-Maidah: 32
Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, ataubukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan menusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (keterangan-keterangan) yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS. 5:32)
عَنْ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيهِ وسَلَّم ، فَقَالَ : وَالَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ ، لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ ، إِلا بِإِحْدَى ثَلاثِ خِصَالٍ : الثَّيِّبِ الزَّانِي ، وَرَجُلٍ قَتَلَ فَأُقِيدَ ، وَالتَّارِكِ لِلْجَمَاعَةِ الْمُفَارِقِ لِلإِسْلامِ (رواه أبو عوانة)
            Dari Abdullah berkata, Nabi SAW berdiri seraya berkata demi zat yang tiada Tuhan selain Dia, tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan tiga cara yaitu pezina yang sudah menikah, pembunuh dan yang meninggalkan jamaah dan memisahkan diri dari agama Islam (HR. Abu ‘Awanah)[1]
2. PERZINAAN
QS. An-Nur: 2-3
3. QAZF (TUDUHAN ZINA)
QS. An-Nur: 4
4. PERAMPOKAN DAN BEGAL
     AL-MAIDAH: 33-34
5.  PENCURIAN
AL-MAIDAH: 38

6. MINUMAN KERAS
            QS. AL-maidah: 90
7. MURTAD
Qs. Al-Baqarah: 217
Sumber hokum Islam
Sumber Hokum pidana islam hanya empat 3 disepakati oleh para ulama dan 1 lagi para ulama berbeda pendapat, sebagian menolaknya sebagai sumber hokum pidana islam dan sebagian lagi menerimanya sbg sumber hokum pidana islam. (abdul qadir audah)
Kisah mu’adz bin jabal diutus ke yaman dalam menghadapi masalah hokum
عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَذَكَرَ كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سَنَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ صَدْرِي فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَهُ



4.     ASAS-ASAS HUKUM PIDANA ISLAM (KITAB ABDUL QADIR AUDAH, jilid 1 HAL. 209)
Yang dimaksud dengan asas-asas hokum pidana Islam di sini adalah ketentuan dasar yang harus dijaga dan dipelihara oleh seorang hakim dalam menjatuhkan sanksi dan hukuman kepada pelaku jarimah. Abdul Qadir Audah dalam kitabnya “at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami” menyebutkan dua asas pidana Islam yaitu:
1.     تدرأ الحدود بالشبهات  artinya hudud harus ditiadakan (jika pembuktiannya) bersifat syubhat (ragu-ragu).
Yang dimaksud dengan hudud adalah setiap jarimah yang hukumannya sudah ditetapkan kadar dan ukurannya dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW secara baku. Termasuk dalam hudud adalah qishash, diat dan kafarat. Secara umum jarimah yang hukumannya sudah ditetapkan secara baku terbatas pada tujuh jarimah yaitu jarimah pembunuhan, pencurian, perzinaan, Qazf (tuduhan berzina), perampokan/begal, minuman keras dan murtad.
Prinsip meniadakan hukuman jika pembuktiannya bersifat syubhat dilandasi sabda Rasulullah SAW: عن ابن عباس، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ادرؤوا الحدود بالشبهات[2]hadits ini diterima keabsahannya oleh umat Islam dan disepakati oleh para ulama mazhab. Kemudian para sahabat mempraktekkannya setelah wafatnya Rasulullah SAW sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khatthab dimana beliau berkata:”Saya meniadakan hukuman dengan dasar syubhat lebih saya senangi daripada menjatuhkan hukuman dengan dasar syubhat”[3]
Banyak riwayat dari para sahabat yang berpegang kepada asas ini di antaranya Mu’adz, Abdullah bin Mas’ud dan ‘Uqbah bin ‘Amir, di mana mereka berkata:”Jika kamu menemui syubhat/keragu-raguan dalam pembuktian maka hindarilah hukuman”. Tidak ada kelompok ulama yang mengingkari untuk berpegang kepada asas ini selain ulama zhahiriyah dimana mereka berprinsip tidak boleh meniadakan hukuman dengan dasar syubhat dan menganggap hadits dan riwayat para sahabat di atas tidak shahih.
Jika ditelusuri banyak riwayat yang dapat mendukung dan memperkuat hadits di atas di antaranya ketika Ma’iz pelaku zina yang mengaku dirinya berzina kepada Rasulullah SAW, beliau SAW mengajukan pertanyaan secara berulang kali untuk meyakinkan dirinya bahwa Ma’iz dalam kesadaran penuh ketika mengaku berzina. Rasulullah SAW bertanya untuk meyakinkan Ma’iz dengan kata-kata, mungkin engkau hanya mencium perempuan tersebut, mungkin engkau hanya memeluk saja atau mungkin engkau bermain mata saja dengannya.

2.     إن الإمام أن يخطئ في العفو خير من أن يخطئ في العقوبة artinya kelirunya imam dalam memberi maaf lebih baik daripada keliru dalam menjatuhkan hukuman. Dengan kata lain mendahulukan keliru dalam memberi maaf daripada keliru dalam memberi hukuman. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW seperti tersebut di atas.

عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ادرءوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم فإن كان له مخرج فخلوا سبيله فإن الإمام أن يخطئ في العفو خير من أن يخطئ في العقوبة(رواه الترمذي)
Artinya:”dari Aisyah berkata, Rasulullah SAW bersabda, hindarkanlah hudud dari orang Islam sedapat mungkin, jika ada jalan keluar lain maka lepaskanlah ia dari hukuman sesungguhnya seorang pemimpin/hakim keliru dalam meberi maaf lebih baik daripada keliru dalam memberi hukuman”

5.  KERJASAMA BERBUAT JARIMAH
Yang dimaksud kerjasama di sini adalah terjadinya suatu jarimah dari dua orang atau lebih sehingga tidak diketahui secara pasti siapa yang melakukan jarimah itu. Dalam hal ini pelaku terbagi dua yaitu pelaku penyebab terjadinya jarimah dan pelaku langsung. Pelaku penyebab akan menanggung hukuman jika terpenuhi dua syarat yaitu pertama,jika ia melakukannya secara melampaui batas baik disengaja maupun tidak disengaja. Yang dimaksud melampaui batas adalah mengerjakan suatu sebab yang tidak benar.Kedua, jika pelaku penyebab jarimah merupakan pihak yang dominan terjadinya jarimah maka ia yang menanggung hukumannya.seperti seseorang  mengusir kuda yang terdapat penunggangnya di atas punggung kuda lalu kuda tersebut melukai orang lain maka pelaku penyebab yang menanggung hukumannya.
Sedangkan pelaku lansung adalah pelaku yang menyebabkan terjadinya jarimah tanpa perantara orang lain seperti seseorang yang meletakkan batu di pinggir jalan lalu datang orang lain meletakkannya di tengah jalan sehingga terjatuh pengendarai motor dan meninggal maka pelaku yang meletakkan batu di tengah jalan yang menanggung hukumannya.
Dengan demikian kerjasama melakukan jarimah harus diperhatikan siapa penyebab terjadinya jarimah dan siapa pelaku utama.[4]
6. PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH
            Yang dimaksud percobaan adalah perencanaan. Rencana melakukan suatu jarimah bisa dipahami bahwa seseorang sudah mempersiapkan peralatan untuk berbuat jarimah. Hal ini berbeda dengan niat karena bila seseorang berniat berbuat jarimah maka hanya sebatas bisikan hati yang belum diwujudkan dalam bentuk perbuatan.
            Dengan demikian ada dua pembahasan dalam sub bab ini yaitu niat melakukan jarimah dan percobaan melakukan jarimah.
a.     NIAT MELAKUKAN JARIMAH
Islam telah menetapkan suatu hokum bahwa niat melakukan suatu jarimah yang belum diwujudkan dalam bentuk perbuatan atau ucapan tidak disebut jarimah sehingga hukuman pun ditiadakan dari pelakunya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
عن أبي هريرة يرفعه قال: إن الله تجاوز لأمتي عما وسوست أو حدثت به أنفسها ما لم تعمل به أو تكلم  (رواه البخاري)
Artinya:”dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau menganggap hadits itu marfu’ berkata, sesungguhnya Allah memaafkan umatku dari sesuatu yang terbesit di dalam hati atau dibisiki oleh hati selama belum berbuat atau belum mengucapkannya”. (HR. Bukhari)

عَنِ ابْنِ عبّاسٍ رضي الله عنهُما عنِ النبيِّ - صلى الله عليه وسلم - فيما يَرْوي عنْ ربِّهِ عزَّ وجلَّ قال: قال:
"إن الله كَتَب الحسناتِ والسَّيِّئاتِ، ثُم بيَّنَ ذلكَ، فمنْ همَّ بِحَسَنةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها كَتَبَها اللهُ لَهُ عِندَهُ حَسَنَةً كامِلةً، فإنْ هُوَ همَّ بِها فَعَمِلَها كتَبَها اللهُ لَهُ عِندَهُعَشَرَ حَسَناتٍ، إلى سبْعمائةِ ضعفٍ، إلى أضعافٍ كثيرةٍ، ومَنْ همَّ بِسيِّئةٍ فَلَمْ يَعْملْها كَتَبَها الله لَهُ عِندهُ حَسَنةً كامِلَةً، فَإنْ هُوَ هَمَّ بها فَعمِلها كتبها الله لهُ سيِّئةً واحدةً".
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi SAW bersabda sebuah hadits yang diriwayatkan dari Tuhannya beliau bersabda, Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Allah mencatat semua kebaikan dan keburukan lalu menerangkan semuanya, barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan namun belum melakukannya maka Allah mencatat satu kebaikan baginya, barangsiapa berniat melakukannya dan benar-benar melakukannya maka Allah mencatat sepuluh kebaikan baginya, lalu Dia melipatgandakan menjadi 700 kali lipat hingga berlipat ganda tak terhingga, barangsiapa yang berniat melakukan suatu keburukan namun belum mengerjakannya maka Allah mencatat satu kebaikan baginya dan jika ia berniat lalu melakukannya maka Allah mencatat satu keburukan baginya.”. (HR. Bukhari)[5]
b. PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH
            adapun percobaan melakukan jarimah seseorang sudah membuka pintu rumah orang lain untuk mencuri atau membeli pisau untuk merampok tapi belum melakukannya maka tidak dianggap pelaku jarimah dan tidak dikenakan hukuman namun apakah ia berdosa? Para ulama sepakat bahwa ia berdosa kepada Allah bukan karena perbuatan percobaan tetapi karena memasuki rumah orang lain tanpa seizin pemiliknya. Jadi jika ia melakukan suatujarimah  yang melanggar aturan agama untuk melakukan sebuah jarimah yang lebih berat maka ia berdosa karena melakukan pelanggaran lain. Memasuki rumah orang lain di samping berdosa juga dikenakan hukuman berupa ta’zir karena iajarimah yang berkaitan dengan hak manusia.
            Sedangkan setiap wasilah/media yang pada dasarnya mubah yang digunakan untuk melakukan perbuatan jarimah maka para ulama terbagi dua kelompok. Kelompok pertama para ulama Maliki dan Hambali menganggapnya haram karena sesuatu yang dipersiapkan untuk melakukan yang haram maka semua media tersebut juga dianggap haram. Sedangkan kelompok ulama kedua adalah para ulama Syafi’I dan ulama Hanafi dimana mereka menganggap sesuatu yang pada dasarnya mubah namun dipersiapakn untuk melakukan yang haram maka media tersebut tetap mubah. Contohnya seseorang yang membeli anggur untuk membuat minuman keras, menurut kelompok pertama pembelian itu menjadi haram sedangkan menurut kelompok kedua hukumnya mubah.
Kesimpulannya percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman selama seseorang belum melakukannya namun setiap perbuatan dosa yang dilakukan selama percobaan wajib dikenakan hukuman sesuai jenis perbuatan dosa yang ia lakukan. Misalnya, orang yang melakukan khalwat sebagai jalan yang mengarah kepada zina maka wajib dikenakan hukuman ta’zir atas perbuatan khalwatnya.[6]














[1]Abu ‘Awanah, Musnad ِ Abu ‘Awanah, Jilid 4 hal. 97
[2]Al-Haritsi, Musnad Abu Hanifah, Jilid 1, hal. 184
[3]Abdul Qadir ‘Audah, at-Tasyri’ al-Jina’I al-Islami, Jilid 1, hal. 206-207
[4]Wahbah Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqh al-Islami, Jilid 6, hal. 350-352
[5]Muhammad Abu Zuhrah, hal. 274-275
[6]Muhammad Abu Zuhrah, al-jarimah wal uqubah, hal. 276-277

FIQH JINAYAH

1.        PENGANTAR KULIAH 2.        PENGERTIAN JINAYAH/JARIMAH SECARA ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGI 3.        UNSUR-UNSUR JARIMAH 4.   ...