1.
PENGANTAR
KULIAH
2.
PENGERTIAN
JINAYAH/JARIMAH SECARA ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGI
3.
UNSUR-UNSUR
JARIMAH
4.
SUMBER-SUMBER
HUKUM PIDANA ISLAM (KITAB ABDUL QADIR AUDAH, jilid 1 HAL. 164)
5.
ASAS-ASAS HUKUM
PIDANA ISLAM(KITAB ABDUL QADIR AUDAH, HAL. 209)
6.
KERJASAMA
BERBUAT JARIMAH
7.
PERCOBAAN
MELAKUKAN JARIMAH
8.
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
9.
TEORI
PEMBUKTIAN/ALAT-ALAT BUKTI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
10.
HUKUMAN:
a.
PENGERTIAN,
TUJUAN DAN SYARAT-SYARAT HUKUMAN
b.
JENIS HUKUMAN
c.
GABUNGAN
HUKUMAN
d.
PELAKSANAAN
HUKUMAN
e.
GUGURNYA
HUKUMAN
REFERENSI:
1.
MAUSU’AH
WAHBAH ZUHAILI, JILID 6
2.
MUHAMMAD
ABU ZUHRAH, AL-JARIMAH WAL UQUBAH FI AL-FIQH AL-ISLAMI
3.
AL-JINAYAH
‘ALA AL-ATHRAF HAL.
4.
1. PENGERTIAN
JINAYAH/JARIMAH SECARA ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGI
Jinayahsecara bahasa artinya dosa
dan segala perbuatan yang dapat menyebabkan pelakunya mendapat hukuman. Ia
berasal dari kata جنى يجني
جناية artinya memetik sebagaimana Allah Swt
berfirman dalam qs. Maryam: 25
Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu
ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.
(QS. 19:25)
Sedangkan secara
terminology jinayah adalah setiap perbuatan yang menindas, menganiaya dan
menzhalimi badan, harta, kehormatan, akal, agama dan lain-lain. Ada sebagian
ulama mengkhususkan jinayah utk perbuatan penindasan terhadap jiwa, badan atau
anggotanya.
Jarimah secara bahasa artinya
penindasan/permusuhan dan dosa. Asal katanya جرم يجرم Dalam QS. Al-A’raf: 40 Allah berfirman:
Lafazh mujrimin artinya
berdosa, arti ayat di atas: “demikianlah Kami membalas orang-orang yang
berdosa”
Sedangkan secara
terminology jarimah itu artinya setiap perbuatan dosa yang bersifat syar’i yang
diancam dengan hukuman hudud atau ta’zir.
Yang dimaksud
dosa bersifat syar’I adalah berupa meninggalkan perintah agama seperti
meninggalkan shalat atau melakukan laranganNya seperti meminum minuman keras.
Hududitu jamak dari lafazh had artinya
larangan. Had disebut juga uqubah karena had atau uqubah menyebabkan seseorang
menghidari diri dari mengerjakan pidana. Sedangkan menurut istilah had itu
adalah setiap hukuman yang kadarnya sudah ditetapkan secara qath’I dalam
Al-Qur’an dan al-Hadits baik berupa hak Allah maupun hak manusia.
Ta’zir artinya hukuman yang tidak
ditetapkan ukurannya secara pasti sehingga hakim atau ulama melakukan ijtihad
untuk memberikan hukuman kepada pelaku pidana seperti menuduh orang lain
mencuri.
Dengan demikian, perbedaan antara jinayah
dengan jarimah adalah jika jinayah dikhususkan untuk badan dan anggotanya maka
jinayah lebih khusus daripada jarimah namun jika yang dimaksudkan jinayah
setiap perbuatan yang mengenai badan, harta dan lain2 maka jinayah sinonim
jarimah.
Terdapat 10 perbedaan
antara hudud dengan ta’zir (lihat kitab mausu’ah zuhaili, hal. 720 jilid 5)
Imam Al-Qarafi dari mazhab
Malikiyah menyebutkan 10 perbedaan antara hudud dengan ta’zir akan tetapi dalam
makalah ini akan disebut 5 saja yaitu sebagai berikut:
1. Dari
segi kadarnya/ukurannya, Hudud itu sudah ditetapkan kadar dan ukurannya dalam
Al-Qur’an dan al-Hadits sedangkan ta’zir ukurannya diserahkan kepada hasil
ijtihad ulama.
2. Dari
segi pelaksanaan hukuman,hudud itu ada yang boleh dibatalkan hukumannya dan
ada juga yang tidak boleh dimaafkan. Hudud yang berkaitan dengan hak-hak Allah
tidak boleh dimaafkan sedangkan hudud yang berkaitan dengan hak-hak manusia
maka boleh dimaafkan dan dibatalkan hukumannya jika korbannya memaafkan. Contoh
hudud yang berkaitan dengan hak-hak Allah adalah murtad dan contoh hudud yag
berkaitan dengan hak-hak manusia adalah pencurian dan qazf.
sedangkan
qishash boleh dibatalkan pelaksanaan hukuman jika dimaafkan oleh keluarga
korban.
Sedangkan
ta’zir juga terbagi dua yaitu yang berkaitan dengan hak-hak Allah dan yang
berkaitan dengan hak-hak manusia. Jika jarimah itu berkaitan dengan hak-hak
Allah maka hakim dapat memaafkan jika hakim melihat pelaku jarimah sudah sadar
atau sudah memperoleh efek jera dari perbuatannya. Sedangkan jika jarimah itu
berkaitan dengan hak-hak manusia maka hakim tidak boleh memaafkannya kecuali
pihak korban yang memaafkannya.
3. Dari segi kesesuaiannya dengan kaidah umum/hokum asal. Ta’zir itu sesuai dengan
kaidah umum/hokum asal artinya hukumannya disesuaikan dengan tingkat
jarimah/tidak criminal yang dilakukan. Sedangkan hudud dan qishash bersifat
baku dan tetap. Orang yang mencuri 1 dinar sama hukumannya dengan yang mencuri
100 dinar.
4. Adanya Keterikatan jarimah dengan maksiat atau tidak adanya keterikatan.
Ta’zir itu
sebuah hukuman yang bersifat memberi pelajaran terhadap suatu tindakan yang
berpeluang menimbulkan kemudharatan seperti memukul anak untuk memberi
pelajaran demi kemaslahatan dirinya dan kebanyakan tidak didahului oleh sebuah
tindakan maksiat/dosa sedangkan hudud itu dikenakan karena didahului oleh
sebuah pelanggaran/maksiat.
5. Dari segi gugurnya dosa jarimah dengan bertaubat. Ta’zir itu dapat
menggugurkan dosa pelaku jika ia bertaubat sedangkan hudud jika sudah terbukti
dan wajib dilaksanakan maka tidak akan gugur dengan taubat semata-mata tanpa
membayar hak-hak korbannya. Ini pendapat jumhur para ulama selain mazhab
Hambali. Hanya jarimah perampokan yang dapat gugur dengan bertaubat berdasarkan
QS. Al-Maidah: 34
2. UNSUR-UNSUR JARIMAH
Jarimah terbagi dua yaitu
jarimah yang hukumannya sudah pasti kadar dan ukurannya yang disebut qishash
dan hudud serta jarimah yang kadar dan ukuran hukumannya belum pasti yang
disebut ta’zir.
Adapun unsur-unsur jarimah
yang sudah pasti kadar dan ukuran hukumannya terdapat 7 macam yaitu:
1.
Pembunuhan. (Mausu’ah wahbah zuhaili jilid 6 hal, 206)
a.
Arti pembunuhan: suatu perbuatan yang menyebabkan
hilangnya nyawa seseorang.
b.
Dalil-dalil tentang pembunuhan:
QS. Al-Baqarah: 178
An-Nisa’: 92-93
QS. Al-Isra’: 33
Al-Maidah: 32
Oleh karena itu kami tetapkan (suatu
hukum) bagi bani israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, ataubukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya. Dan
barang siapa yang memelihara kehidupan menusia semuanya. Dan sesungguhnya telah
datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (keterangan-keterangan) yang
jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui
batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS. 5:32)
عَنْ
عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيهِ وسَلَّم ، فَقَالَ :
وَالَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ ، لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ ، إِلا
بِإِحْدَى ثَلاثِ خِصَالٍ : الثَّيِّبِ الزَّانِي ، وَرَجُلٍ قَتَلَ فَأُقِيدَ ،
وَالتَّارِكِ لِلْجَمَاعَةِ الْمُفَارِقِ لِلإِسْلامِ (رواه أبو عوانة)
Dari Abdullah berkata, Nabi SAW
berdiri seraya berkata demi zat yang tiada Tuhan selain Dia, tidak halal darah
seorang muslim kecuali dengan tiga cara yaitu pezina yang sudah menikah,
pembunuh dan yang meninggalkan jamaah dan memisahkan diri dari agama Islam (HR.
Abu ‘Awanah)[1]
2. PERZINAAN
QS. An-Nur: 2-3
3. QAZF (TUDUHAN ZINA)
QS. An-Nur: 4
4. PERAMPOKAN DAN BEGAL
AL-MAIDAH: 33-34
5. PENCURIAN
AL-MAIDAH:
38
6. MINUMAN KERAS
QS. AL-maidah: 90
7. MURTAD
Qs. Al-Baqarah: 217
Sumber hokum Islam
Sumber Hokum pidana islam hanya empat 3
disepakati oleh para ulama dan 1 lagi para ulama berbeda pendapat, sebagian
menolaknya sebagai sumber hokum pidana islam dan sebagian lagi menerimanya sbg
sumber hokum pidana islam. (abdul qadir audah)
Kisah mu’adz bin jabal diutus ke yaman dalam
menghadapi masalah hokum
عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ
بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَذَكَرَ كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ
أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ
فَسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِي سَنَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو
قَالَ فَضَرَبَ صَدْرِي فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَهُ
4. ASAS-ASAS
HUKUM PIDANA ISLAM (KITAB ABDUL QADIR AUDAH, jilid 1 HAL. 209)
Yang dimaksud dengan asas-asas
hokum pidana Islam di sini adalah ketentuan dasar yang harus dijaga dan
dipelihara oleh seorang hakim dalam menjatuhkan sanksi dan hukuman kepada
pelaku jarimah. Abdul Qadir Audah dalam kitabnya “at-Tasyri’ al-Jina’i
al-Islami” menyebutkan dua asas pidana Islam yaitu:
1.
تدرأ الحدود بالشبهات artinya hudud harus
ditiadakan (jika pembuktiannya) bersifat syubhat (ragu-ragu).
Yang dimaksud dengan hudud adalah setiap jarimah yang hukumannya sudah
ditetapkan kadar dan ukurannya dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW secara baku.
Termasuk dalam hudud adalah qishash, diat dan kafarat. Secara umum jarimah yang
hukumannya sudah ditetapkan secara baku terbatas pada tujuh jarimah yaitu
jarimah pembunuhan, pencurian, perzinaan, Qazf (tuduhan berzina),
perampokan/begal, minuman keras dan murtad.
Prinsip meniadakan hukuman jika pembuktiannya bersifat syubhat dilandasi
sabda Rasulullah SAW: عن ابن عباس، قال: قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: ادرؤوا الحدود
بالشبهات[2]hadits
ini diterima keabsahannya oleh umat Islam dan disepakati oleh para ulama mazhab.
Kemudian para sahabat mempraktekkannya setelah wafatnya Rasulullah SAW
sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khatthab dimana beliau berkata:”Saya
meniadakan hukuman dengan dasar syubhat lebih saya senangi daripada menjatuhkan
hukuman dengan dasar syubhat”[3]
Banyak riwayat dari para
sahabat yang berpegang kepada asas ini di antaranya Mu’adz, Abdullah bin Mas’ud
dan ‘Uqbah bin ‘Amir, di mana mereka berkata:”Jika kamu menemui
syubhat/keragu-raguan dalam pembuktian maka hindarilah hukuman”. Tidak ada
kelompok ulama yang mengingkari untuk berpegang kepada asas ini selain ulama
zhahiriyah dimana mereka berprinsip tidak boleh meniadakan hukuman dengan dasar
syubhat dan menganggap hadits dan riwayat para sahabat di atas tidak shahih.
Jika ditelusuri banyak riwayat yang dapat
mendukung dan memperkuat hadits di atas di antaranya ketika Ma’iz pelaku zina
yang mengaku dirinya berzina kepada Rasulullah SAW, beliau SAW mengajukan
pertanyaan secara berulang kali untuk meyakinkan dirinya bahwa Ma’iz dalam
kesadaran penuh ketika mengaku berzina. Rasulullah SAW bertanya untuk
meyakinkan Ma’iz dengan kata-kata, mungkin engkau hanya mencium perempuan
tersebut, mungkin engkau hanya memeluk saja atau mungkin engkau bermain mata
saja dengannya.
2.
إن الإمام أن يخطئ في العفو خير من أن يخطئ
في العقوبة artinya
kelirunya imam dalam memberi maaf lebih baik daripada keliru dalam menjatuhkan
hukuman. Dengan kata lain mendahulukan keliru dalam memberi maaf daripada
keliru dalam memberi hukuman. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW seperti
tersebut di atas.
عن عائشة قالت :
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ادرءوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم فإن كان
له مخرج فخلوا سبيله فإن الإمام أن يخطئ في العفو خير من أن يخطئ في العقوبة(رواه الترمذي)
Artinya:”dari Aisyah berkata, Rasulullah SAW bersabda,
hindarkanlah hudud dari orang Islam sedapat mungkin, jika ada jalan keluar lain
maka lepaskanlah ia dari hukuman sesungguhnya seorang pemimpin/hakim keliru
dalam meberi maaf lebih baik daripada keliru dalam memberi hukuman”
5. KERJASAMA
BERBUAT JARIMAH
Yang dimaksud kerjasama
di sini adalah terjadinya suatu jarimah dari dua orang atau lebih sehingga
tidak diketahui secara pasti siapa yang melakukan jarimah itu. Dalam hal ini
pelaku terbagi dua yaitu pelaku penyebab terjadinya jarimah dan pelaku
langsung. Pelaku penyebab akan menanggung hukuman jika terpenuhi dua syarat
yaitu pertama,jika ia melakukannya secara melampaui batas baik disengaja
maupun tidak disengaja. Yang dimaksud melampaui batas adalah mengerjakan suatu
sebab yang tidak benar.Kedua, jika pelaku penyebab jarimah merupakan
pihak yang dominan terjadinya jarimah maka ia yang menanggung
hukumannya.seperti seseorang mengusir
kuda yang terdapat penunggangnya di atas punggung kuda lalu kuda tersebut
melukai orang lain maka pelaku penyebab yang menanggung hukumannya.
Sedangkan pelaku
lansung adalah pelaku yang menyebabkan terjadinya jarimah tanpa perantara orang
lain seperti seseorang yang meletakkan batu di pinggir jalan lalu datang orang
lain meletakkannya di tengah jalan sehingga terjatuh pengendarai motor dan
meninggal maka pelaku yang meletakkan batu di tengah jalan yang menanggung
hukumannya.
Dengan demikian
kerjasama melakukan jarimah harus diperhatikan siapa penyebab terjadinya
jarimah dan siapa pelaku utama.[4]
6.
PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH
Yang
dimaksud percobaan adalah perencanaan. Rencana melakukan suatu jarimah bisa
dipahami bahwa seseorang sudah mempersiapkan peralatan untuk berbuat jarimah.
Hal ini berbeda dengan niat karena bila seseorang berniat berbuat jarimah maka
hanya sebatas bisikan hati yang belum diwujudkan dalam bentuk perbuatan.
Dengan
demikian ada dua pembahasan dalam sub bab ini yaitu niat melakukan jarimah dan
percobaan melakukan jarimah.
a. NIAT
MELAKUKAN JARIMAH
Islam telah menetapkan suatu hokum
bahwa niat melakukan suatu jarimah yang belum diwujudkan dalam bentuk perbuatan
atau ucapan tidak disebut jarimah sehingga hukuman pun ditiadakan dari
pelakunya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
عن أبي هريرة يرفعه قال: إن الله تجاوز لأمتي عما وسوست أو حدثت به
أنفسها ما لم تعمل به أو تكلم (رواه البخاري)
Artinya:”dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau menganggap hadits itu marfu’ berkata,
sesungguhnya Allah memaafkan umatku dari sesuatu yang terbesit di dalam hati
atau dibisiki oleh hati selama belum berbuat atau belum mengucapkannya”. (HR.
Bukhari)
عَنِ ابْنِ عبّاسٍ رضي الله عنهُما
عنِ النبيِّ - صلى الله عليه وسلم - فيما يَرْوي عنْ ربِّهِ
عزَّ وجلَّ قال: قال:
"إن الله كَتَب الحسناتِ والسَّيِّئاتِ، ثُم بيَّنَ ذلكَ،
فمنْ همَّ بِحَسَنةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها كَتَبَها اللهُ لَهُ عِندَهُ حَسَنَةً
كامِلةً، فإنْ هُوَ همَّ بِها فَعَمِلَها كتَبَها اللهُ لَهُ عِندَهُعَشَرَ
حَسَناتٍ، إلى سبْعمائةِ ضعفٍ، إلى أضعافٍ كثيرةٍ، ومَنْ همَّ بِسيِّئةٍ فَلَمْ
يَعْملْها كَتَبَها الله لَهُ عِندهُ حَسَنةً كامِلَةً، فَإنْ هُوَ هَمَّ بها
فَعمِلها كتبها الله لهُ سيِّئةً واحدةً".
Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi SAW bersabda sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Tuhannya beliau bersabda, Allah SWT berfirman: Sesungguhnya
Allah mencatat semua kebaikan dan keburukan lalu menerangkan semuanya,
barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan namun belum melakukannya maka
Allah mencatat satu kebaikan baginya, barangsiapa berniat melakukannya dan
benar-benar melakukannya maka Allah mencatat sepuluh kebaikan baginya, lalu Dia
melipatgandakan menjadi 700 kali lipat hingga berlipat ganda tak terhingga,
barangsiapa yang berniat melakukan suatu keburukan namun belum mengerjakannya
maka Allah mencatat satu kebaikan baginya dan jika ia berniat lalu melakukannya
maka Allah mencatat satu keburukan baginya.”. (HR. Bukhari)[5]
b.
PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH
adapun percobaan melakukan jarimah
seseorang sudah membuka pintu rumah orang lain untuk mencuri atau membeli pisau
untuk merampok tapi belum melakukannya maka tidak dianggap pelaku jarimah dan
tidak dikenakan hukuman namun apakah ia berdosa? Para ulama sepakat bahwa ia
berdosa kepada Allah bukan karena perbuatan percobaan tetapi karena memasuki
rumah orang lain tanpa seizin pemiliknya. Jadi jika ia melakukan suatujarimah yang melanggar aturan agama untuk melakukan
sebuah jarimah yang lebih berat maka ia berdosa karena melakukan pelanggaran
lain. Memasuki rumah orang lain di samping berdosa juga dikenakan hukuman
berupa ta’zir karena iajarimah yang berkaitan dengan hak manusia.
Sedangkan setiap wasilah/media yang
pada dasarnya mubah yang digunakan untuk melakukan perbuatan jarimah maka para
ulama terbagi dua kelompok. Kelompok pertama para ulama Maliki dan Hambali
menganggapnya haram karena sesuatu yang dipersiapkan untuk melakukan yang haram
maka semua media tersebut juga dianggap haram. Sedangkan kelompok ulama kedua adalah
para ulama Syafi’I dan ulama Hanafi dimana mereka menganggap sesuatu yang pada
dasarnya mubah namun dipersiapakn untuk melakukan yang haram maka media
tersebut tetap mubah. Contohnya seseorang yang membeli anggur untuk membuat
minuman keras, menurut kelompok pertama pembelian itu menjadi haram sedangkan
menurut kelompok kedua hukumnya mubah.
Kesimpulannya
percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman selama seseorang belum
melakukannya namun setiap perbuatan dosa yang dilakukan selama percobaan wajib
dikenakan hukuman sesuai jenis perbuatan dosa yang ia lakukan. Misalnya, orang
yang melakukan khalwat sebagai jalan yang mengarah kepada zina maka wajib
dikenakan hukuman ta’zir atas perbuatan khalwatnya.[6]
[2]Al-Haritsi, Musnad
Abu Hanifah, Jilid 1, hal. 184
[4]Wahbah Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqh al-Islami, Jilid 6, hal.
350-352
[6]Muhammad Abu Zuhrah, al-jarimah wal uqubah, hal. 276-277